Keladi tikus obat kanker – Kanker kini
tidak lagi mematikan. Para penderita kanker di Indonesia dapat memiliki
harapan hidup yang lebih lama dengan ditemukannya tanaman “KELADI TIKUS”
(Typhonium Flagelliforme/Rodent Tuber) sebagai
tanaman obat yang dapat menghentikan dan mengobati berbagai penyakit kanker dan
berbagai penyakit berat lain.
Keladi
tikus obat kanker
Di Indonesia,
tanaman ini pertama ditemukan oleh Patoppoi di Pekalongan, Jawa Tengah. Ketika
itu, istri Patoppoi mengidap kanker payudara stadium III dan harus dioperasi 14
Januari 1998. Setelah kanker ganas tersebut diangkat melalui operasi, istri
Patoppoi harus menjalani kemoterapi (suntikan kimia untuk membunuh sel) untuk
menghentikan penyebaran sel-sel kanker tersebut. “Sebelum menjalani
kemoterapi,dokter mengatakan agar kami menyiapkan wig (rambut palsu)
karena kemoterapi akan mengakibatkan kerontokan rambut, selain kerusakan kulit
dan hilangnya nafsu makan,” jelas Patoppoi.
Selama mendampingi istrinya menjalani
kemoterapi, Patoppoi terus berusaha mencari pengobatan alternatif sampai
akhirnya dia mendapatkan informasi mengenai penggunaan teh Lin Qi di Malaysia
untuk mengobati kanker. “Saat itu juga saya langsung terbang ke Malaysia untuk
membeli teh tersebut,” ujar Patoppoi yang juga ahli biologi. Ketika
sedang berada di sebuah toko obat di Malaysia , secara tidak sengaja dia
melihat dan membaca buku mengenai pengobatan kanker yang berjudul “Cancer, Yet
They Live” karangan Dr Chris K.H. Teo terbitan 1996. “Setelah saya baca
sekilas, langsung saja saya beli buku tersebut. Begitu menemukan buku itu, saya
malah tidak jadi membeli teh Lin Qi, tapi langsung pulang ke Indonesia,” kenang
Patoppoi sambil tersenyum. Di buku itulah Patoppoi membaca khasiat typhonium flagelliforme itu.
Berdasarkan pengetahuannya di bidang biologi, pensiunan
pejabat Departemen Pertanian ini langsung menyelidiki dan mencari tanaman
tersebut. Setelah menghubungi beberapa koleganya di berbagai tempat, familinya
di Pekalongan Jawa Tengah, balas menghubunginya. Ternyata, mereka menemukan
tanaman itu di sana. Setelah mendapatkan tanaman tersebut dan mempelajarinya
lagi, Patoppoi menghubungi Dr. Teo di Malaysia untuk menanyakan kebenaran
tanaman yang ditemukannya itu.
Selang beberapa hari, Dr. Teo
menghubungi Patoppoi dan menjelaskan bahwa tanaman tersebut memang benar Rodent Tuber. “Dr. Teo mengatakan agar tidak ragu lagi
untuk menggunakannya sebagai obat,” lanjut Patoppoi. Akhirnya,
dengan tekad bulat dan do’a untuk kesembuhan, Patoppoi mulai memproses tanaman
tersebut sesuai dengan langkah-langkah pada buku tersebut untuk diminum sebagai
obat. Kemudian Patoppoi menghubungi putranya, Boni Patoppoi di Buduran,
Sidoarjo untuk ikut mencarikan tanaman tersebut. “Setelah melihat ciri-ciri
tanaman tersebut, saya mulai mencari di pinggir sungai depan rumah dan
langsung saya dapatkan tanaman tersebut tumbuh liar di pinggir sungai,”
kata Boni yang mendampingi ayahnya saat itu.
Selama mengonsumsi sari tanaman tersebut, istri Patoppoi
mengalami penurunan efek samping kemoterapi yang dijalaninya. Rambutnya
berhenti rontok, kulitnya tidak rusak dan mual-mual hilang. “Bahkan nafsu makan
ibu saya pun kembali normal,” lanjut Boni.
Setelah tiga bulan meminum keladi tikus, istri Patoppoi
menjalani pemeriksaan kankernya. “Hasil pemeriksaan negatif, dan itu sungguh
mengejutkan kami dan dokter-dokter di Jakarta,” kata Patoppoi. Para
dokter itu kemudian menanyakan kepada Patoppoi, apa yang diberikan pada
istrinya. “Malah mereka ragu, apakah mereka telah salah memberikan dosis
kemoterapi kepada kami,” lanjut Patoppoi.
Patoppoi menjelaskan kisah tanaman Rodent Tuber, para dokter pun mendukung
Pengobatan tersebut dan menyarankan agar mengembangkannya. Apalagi
melihat keadaan istrinya yang tidak mengalami efek samping kemoterapi
yang sangat keras. Dan pemeriksaan yang seharusnya tiga bulan sekali
diundur menjadi enam bulan sekali.”Tetapi karena sesuatu hal, para dokter
tersebut tidak mau mendukung secara terang-terangan penggunaan tanaman
sebagai pengobatan alternatif,” sambung Boni sambil tertawa.
Berdasarkan peningkatan keadaan istrinya, pada bulan April 1998,
Patoppoi kemudian menghubungi Dr.Teo melalui fax untuk menginformasikan bahwa
tanaman tersebut banyak terdapat di Jawa dan mengajak Dr. Teo untuk menyebarkan
penggunaan tanaman ini di Indonesia. Kemudian Dr Teo langsung membalas fax
kami, tetapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat, karena
jarak yang jauh,” sambung Patoppoi. Meskipun Patoppoi mengusulkan agar buku
mereka diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan disebarkan di Indonesia, Dr.
Teo menganjurkan agar kedua belah pihak bekerja sama dan berkonsentrasi
dalam usaha nyata membantu penderita kanker di Indonesia.
Pada akhir Januari 2000 saat Jawa Pos mengulas mengenai
meninggalnya Wing Wir yanto, salah satu wartawan handal Jawa Pos, Patoppoi
sempat tercengang. Data-data rinci mengenai gejala, penderitaan, pengobatan
yang diulas di Jawa Pos, ternyata sama dengan salah satu pengalaman pengobatan
penderita kanker usus yang dijelaskan di buku tersebut. Dan eksperimen
pengobatan tersebut berhasil menyembuhkan pasien tersebut. “Lalu saya
langsung menulis di kolom Pembaca Menulis di Jawa Pos,” ujar Boni. Dan
tanggapan yang diterimanya benar-benar diluar dugaan. Dalam sehari, bisa
sekitar 30 telepon yang masuk. “Sampai saat ini, sudah ada sekitar 300
orang yang datang ke sini,” lanjut Boni. Pasien pertama yang
berhasil adalah penderita Kanker Mulut Rahim stadium dini. Setelah
diperiksa, dokter mengatakan harus dioperasi. Tetapi karena belum memiliki
biaya dan sambil menunggu rumahnya laku dijual untuk biaya operasi,
mereka datang setelah membaca Jawa Pos. Setelah diberi tanaman dan cara
meminumnya, tidak lama kemudian pasien tersebut datang lagi dan
melaporkan bahwa dia tidak perlu dioperasi, karena hasil pemeriksaan mengatakan
negatif.
Berdasarkan animo masyarakat sekitar
yang sangat tinggi, Patoppoi berusaha untuk menemui Dr. Teo secara
langsung. Atas bantuan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
Departemen Kesehatan, Sampurno, Patoppoi dapat menemui Dr. Teo di Penang,
Malaysia. Di kantor Pusat Cancer CarePenang,
Malaysia, Patoppoi mendapat penerangan lebih lanjut mengenai riset
tanaman yang saat ditemukan memiliki nama Indonesia. Ternyata saat Patoppoi
mendapat buku “Cancer, Yet They Live” edisi revisi
tahun 1999, fax yang dikirimnya di masukkan dalam buku tersebut, serta
pengalaman istrinya dalam usahanya berperang melawan kanker. Dari pembicaraan
mereka, Dr. Teo merekomendasi agar Patoppoi mendirikan perwakilan Cancer Care di Jakarta dan Surabaya. Maka secara
resmi, Patoppoi dan putranya diangkat sebagai perwakilan lembaga sosial Cancer Care Indonesia.
Cancer Care Malaysia
telah mengembangkan bentuk pengobatan tersebut secara lebih canggih. Mereka
telah memproduksi ekstrak Keladi Tikus obat kanker dalam bentuk pil dan teh
bubuk yang dikombinasikan dengan berbagai tananaman lainnya dengan dosis
tertentu. “Dosis yang diperlukan tergantung penyakit yang diderita,” kata Boni.
Sebenarnya pengobatan ini juga didukung dan sedang dicoba
oleh salah satu dokter senior di Surabaya, pada pasiennya yang mengidap kanker
ginjal. Ada dua pasien yang sedang dirawat dokter yang pernah menjabat sebagai
direktur salah satu rumah sakit terbesar di Surabaya ini. Pasien pertama yang
mengidap kanker rahim tidak sempat diberi pengobatan dengan keladi tikus,
karena telah ditangani oleh rekan-rekan dokter yang telah memiliki reputasi.
Setelah menjalani kemoterapi dan radiologi, pasien tersebut mengalami
kerontokan rambut, kulit rusak dan gatal, dan selalu muntah. Tetapi pada pasien
kedua yang mengidap kanker ginjal, dokter ini menanganinya sendiri dan
juga memberikan keladi tikus obat kanker untuk membantu proses penyembuhan
kemoterapi.
Pada pasien kedua ini, tidak ditemui berbagai efek yang dialami
penderita pertama, bahkan pasien tersebut kelihatan normal. Tetapi dokter ini
menolak untuk diekspos karen menurutnya, pengobatan ini belum resmi
diteliti di Indonesia. Menurutnya, jika rekan-rekannya mengetahui bahwa
dia memakai pengobatan alternatif, mereka akan memberikan predikat sebagai
“ter-kun” atau dokter-dukun. “Disinilah ‘gap’ yang terbuka antara
pengobatan konvensional dan modern,” kata dokter tersebut.
Menurut data Cancer Care Malaysia, berbagai penyakit yang
telah disembuhkankeladi tikus obat kanker adalah
berbagai kanker dan penyakit berat seperti kanker payudara, paru-paru,
usus besar-rectum, liver, prostat, ginjal, leher rahim, tenggorokan, tulang,
otak, limpa, leukemia, empedu, pankreas, dan hepatitis.
Keladi tikus obat kanker juga
di kombinasikan dengan daun sirsak yang mempunyai
kekuatan 10.000 kali dari kemoterapi, yang menghasilkan obat herbal K-Muricata. Obat Herbal k-Muricata sangat ampuh untuk
mengatasi berbagai penyakit kanker dan berbagai penyakit lainnya.
Sumber: herbalweb
Awal mula Keladi tikus obat kanker di Indonesia
Reviewed by Unknown
on
00.02
Rating:
Tidak ada komentar: